Selasa, 15 Februari 2011

Wahai Dokter, Tolong Jiwa Kami!!!

Saya nyaris belum pernah mendengar, "Pak Dokter,,tolong obati jiwa sayaa..jiwa ini sakit skali dok!!"
dari mulut pasien, di tempat praktek dosen-dosen saya,atau di tepat Puskesmas dulu tempat saya belajar (Puskesmas Cawas,Klaten). Rasanya tak mungkin ya,ada pasien datang dan mengeluh jiwanya sakit?
Tapi, setuju kah anda bahwa jiwa manusia, juga bisa menderita sakit?
Manusia memiliki 2 unsur utama pembentuk kehidupannya; unsur jasmani (fisik), dan unsur rohani (jiwa).Jika salah satu di antara kedua unsur tadi terkena masalah, maka manusia tersebut akan mengalami error saat menjalankan kehidupan. Setuju?
Sebagai contoh, orang yang sakit diabetes yang tergantung insulin. Tanpa insulin orang tersebut akan lemas terkapar karena tak ada glukosa dalam darahnya yang diubah menjadi energi dan digunakan oleh jaringan. "Lemas terkapar" adalah error yang terjadi pada manusia tersebut. pada orang normal, lemas terkapar tidak  sampai terjadi karena insulin dlm tubuhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi jaringan. Stuju?

Begitu juga dengan jiwa. Jiwa yang sakit pun akan mampu menyebabkan error pada manusia tersebut. Sebagai contoh, orang yang stress akibat ditinggal mati pacarnya. Bisa kah dia menjalankan aktivitas sehari-hari dengan normal? Bahkan jangan-jangan untuk makan dan mandi pun dia tak mampu. Hatinya sudah terlalu terluka. Butuh waktu beberapa saat untuk kembali pulih dr luka hatinya itu. Bukankah dengan kondisinya yang tak mau makan, mandi, mungkin juga berdiam diri saja di kamar atau tak mau bekerja justru akan menambah masalah baru? Bukankah pria ini justru menjadi rawan untuk terserang infeksi akibat daya tahan tubuhnya yang menurun?belum lagi masalah ekonomi keluarga (mungkin) yang jadi berantakan akibat pria ini tak mau lagi bekerja? Bagaimana dengan kondisi fisiknya yang kotor akibat tak mau mandi?siapa yang kemudian akan memandikannya? sebuah beban berat untuk keluarga...Stuju?




dari uraian di atas, kita bisa mencermati sesungguhnya, antara jiwa, dan raga (fisik) manusia tak bisa dipisahkan. keduanya merupakan hubungan timbal balik. jiwa sakit akan menyebabkan fisik yang sakit, fisik yang sakit juga akan menyebabkan jiwanya sakit. begitu seterusnya.

Sering kali saya mendengar ada dokter bercerita
"pasien saya sudah 3 bulan ini datang rutin ke rumah saya, minta obat sakit kepala..sudah 3 bulan tak sembuh-sembuh..hasil CT scannya baik-baik saja tuh...sistem organ yang lain pun OK..dia kenapa ya?"
(seandainya dokter bisa memandang pasien secara holistik)
Ya, dokter harus melihat kondisi pasiennya secara holistik. ingat selalu bahwa manusia terdiri atas 2 unsur tadi. Seumpama seorang pasien datang dengan keluhan sakit kepala, periksalah sakit kepalanya itu sesuai prosedur. Lakukan pemeriksaan penunjang bila perlu. Sampai dokter benar-benar tak mendapatkan kelainannya, baru periksalah jiwa pasien,,apakah dia sedang mengalami stres?apakah dia sedang menanggung beban pikiran yg berat?apakah jiwa nya sedang berguncang?
tapiii...apakah mau seorang Pasien mengatakan kejujuran pada dokter "Dok, saya lagi stres,,,"??
itulah mengapa kedokteran merupakan gabungan antara art dan sains..

Pendidikan kedokteran seharusnya sudah mulai mengajarkan bagaimana menangani pasien secara holistik seawal mungkin. Kepekaan terhadap semua unsur manusia yang melekat pada pasiennya semestinya diasah bahkan sejak tahun pertama kuliah. Termasuk berbagai kesenian dalam menghadapi berbagai kondisi pasien, seperti misalnya bagaimana membuat pasien bisa nyaman dan percaya pada dokter untuk mengatakan kejujuran, " Ya dok, saya sedang punya pikiran,,saya pusing sekali, jiwa saya tertekan dok.."
Kalau dokter sudah berhasil menggali masalah pasien, alangkah beruntungnya dokter (dan tentu saja pasiennya) itu..
1. terapi untuk pasien menjadi lebih jelas. Pasien hanya perlu diberi pereda keluhannya (misal sakit kepala, beri analgesik<jika perlu>)
2. Dokter tidak membuang-buang energi dan pikiran, dan pasien tidak repot2 membuang uang untuk melakukan pemeriksaan penunjang.
3. Dengan berbagi cerita dengan dokter, maka pasien akan merasa lebih ringan, apalagi kalau dokter bisa membantu atau memberi solusi akan masalahnya. Bisa jadi sakitnya pasien akan sembuh seketika.

faktanya, bahwa 25% pasien-pasien yang sakit secara fisik kemudian mencari pertolongan seorang dokter, sesungguhnya yang sakit adalah  jiwanya. dan 40% di antaranya salah didiagnosis (otomatis salah terapinya).

refleksi ini sesungguhnya mengingatkan pada kita, dokter-dokter di Indonesia,,sudahkah anda memandang pasien secara holistik??(jiwa,raga, bahkan sosial,dan spiritualnya?)
Sekaligus juga sebuah pesan untuk para pasien yang akan datang pada dokter. Sesekali ingatkanlah dokter anda "Wahai dokter,sudahkah kau periksa jiwa kami?"
................................................................................................................................................................

oke, masalah kesehatan jiwa sesungguhnya tak hanya sampai disitu. Yang saya uraikan di atas, adalah masalah-masalah psikis ringan, yang sering menimbulkan gejala fisik. Sekarang, mari kita sama-sama berpikir bagaimana dengan penyakit-penyakit jiwa yang berat seperti psikosis, depresi berat,schizofrenia,dll?

Pasien yang mengalami gangguan atau kelainan jiwa yang berat akan mengganggu kehidupan orang-orang di sekitarnya. Kadang, pasien ini justru cenderung membahayakan.
Pasien schizofren misalnya, saat kambuh, dia bisa berlari-lari tanpa pakaian, menyerang orang di sekitarnya,atau bisa juga kabur dari rumah lontang lantung entah kemana. Masalah yang timbul kemudian akan menjadi kompleks, baik pada pasiennya, juga keluarganya.
Masyarakat akan cenderung menjauhi keluarga itu, karena takut tertular, atau takut kena serangan. Tak sedikit keluarga yang kemudian dikucilkan oleh tetangganya. Minimnya informasi pada masyarakat, bahwa sesungguhnya penyakit seperti ini bisa disembuhkan, atau minimal bisa dicegah kekambuhannya. Lebih payahnya lagi, himpitan ekonomi yang membuat keluarga tak bisa membawa pasien berobat. Sehingga sering kita jumpai di TV, ada remaja dipasung, bahkan anak yang dikurung, karena dianggap memiliki tabiat yang tak biasa, atau karna sering menyerang tetangga. Bukan hanya sehari,dua hari,,bahkan bisa bertahun-tahun. Sungguh penganiayaan besar!!
Tapi ini lah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.


Gambar seorang yg dipasung di Samosir

WHO merekomendasikan, untuk negara berkembang, sistem kesehatan jiwa diintegrasikan dengan pelayanan Puskesmas. Hal ini diharapkan agar kesehatan jiwa dapat mencapai masyarakat dengan sedekat mungkin (pelayanan kesehatan terdekat dengan masyarakat adalah Puskesmas).
Biaya nya pun akan cenderung lebih murah dibandingkan dengan rumah sakit, apalagi praktek swasta.
Puskesmas, selain memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan jiwa (termasuk obat-obat antipsikotik,dll), juga mengemban tugas untuk mengubah stigma masyarakat yang buruk terhadap orang-orang yang memiliki gangguan jiwa. Puskesmas juga mempunyai tanggung jawab besar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan jiwa.

Prakteknya,,
Dinas Kesehatan di Propinsi atau Kabupaten, wajib mengadakan pelatihan-pelatihan untuk dokter-dokter di Puskesmas. Selain itu Dinas juga berkoordinasi dengan Pusat, atau instansi lain terkait dalam penyediaan terapi untuk gangguan kejiwaan terutama yang berat. Dokter spesialis kesehatan jiwa di rumah sakit yang memiliki pelayanan kesehatan Jiwa (biasanya rumah sakit besar) berperan sebagai konsultan dan supervisor.

well..
sejujurnya saya belum melihat tuh Puskesmas yang menyediakan pelayanan kesehatan Jiwa..
terutama di DIY,,,
semoga saja cita-cita WHO ini (semestinya juga cita-cita kita) cepat terwujud...
amin,,

Ayo pemerintah!!terus kembangkan inovasi dan ciptakan kebijakan-kebijakan dalam bidang kesehatan jiwa (belum tersentuh)!

-salam sukses-
      dio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar